”Mama…Nara gak mau les..masih mau main sepeda sama Steven…” rengek anakku di suatu sore yang masih agak panas.
Cuaca hari ini memang agak berbeda dari biasanya. Panas sekali, serasa bisa membakar kulit. Hari ini Rabu, tengah minggu, biasanya aku mengantar anakku untuk les lego di Jalan Pondok Bambu.
Namun, ya seperti itulah yang terjadi. Anakku, laki-laki, usia empat tahunan, belum bisa memahami kenapa dia harus menyudahi permainannya sore itu.
“No, Nara…You have to go…Today is Wednesday, so you know what you have to do, boy…?” Kucoba untuk mengajaknya pulang sambil mengarahkan sepedanya ke rumah.
Tapi anakku menolaknya dengan keras, “No! No! I won’t to go there! It’s boring..” teriaknya membuatnya Steven kawannya menoleh kaget.
Tak bisa membujuk anakku, akhirnya aku coba untuk membujuk Steven. “Steven, can you help me, please…?” bujukku sambil memandang dan mendekatinya. Steven mengangguk pelan, paham akan maksudku. “Steven, bisakah kamu bilang pada Nara…It’s OK Nara..nanti kita main bersama lagi setelah kamu pulang dari les…”
Ya, usia anakku memang masih sangat kecil. Belum cukup untuk bisa memahami apa itu les, mengapa harus masuk les, dan apa manfaat yang didapat saat ikut les. Sebetulnya aku pun bukan tanpa keraguan dan kekhawatiran saat akan mengikutkan dia ke lego course ini. Awalnya akupun ragu pada pilihan yang kuambil. Mampukah dia mengikuti materinya? Apakah ini baik untuk jiwanya jika aku sedikit memaksa? Banyak sekali beban pikiran yang menggelayut di kalbuku.
“Mama…gak mau les..kan main sepedanya belum selesai…” rajuk anakku lagi sambil menyatukan kedua tangannya dan memasang ekspresi please. Membuatku membuyarkan sejenak lamunan.
“Nara sayang, listen to me..dengarkan mama, nak…Jika hari ini kamu gak masuk les lego, nanti siapa yang akan membangun gedung yang tinggi itu? Kan kemarin gedungnya sudah terbangun sebagian…Masih inget gak? Sudah pakai crane kan? Hari ini mungkin kita akan diajak memasang atapnya. Hmm seru sekali ini tampaknya…” Kucoba lagi untuk mencari alasan yang masuk akal agar anakku bersedia mengubah pendiriannya.
“Yaa…tapi kan Nara mainnya belum selesai. Besok saja lesnya, maa..” Anakku masih juga tidak berubah pikiran.
Aku berpikir ulang, “Aduhh…alasan apa lagi ya? Apa iya, aku rescedule aja?” Melihat mata anakku rasanya aku pun tak sanggup untuk tidak memenuhi keinginannya. Sering sekali hal-hal seperti ini terjadi saat menghadapinya.
Tapi kucoba berpikir kembali, “Benarkah yang kulakukan, jika aku mengajarkannya untuk tidak mengikuti jadwal yang telah kami sepakati di awal? Dia memang masih kecil, dia memang belum paham, tetapi memahami adalah proses yang harus diajarkan sejak dini. Bagaimana bisa yakin membuatnya menjadi anak yang bertanggung jawab, jika tidak sedari kecil kita ajarkan bentuk tanggung jawab itu sendiri. Ada hal-hal yang harus kita lakukan, ada hal-hal yang harus kita selesaikan sesuai waktunya. Kadang, hal-hal itu memang tidak kita suka. Dia datang di saat yang tidak tepat bagi kita, tapi itulah arti tanggung jawab yang sesungguhnya.” Bisik batinku mengingatkan.
“Nara, tampaknya sudah ditunggu Kak Nita di sana. Kita sebentar saja lesnya. Hanya sebentar. Setelah itu kita main sepeda lagi. Mama janji, nanti kita naik sepeda keliling kompleks ya…” Akhirnya kuputuskan bagaimanapun caranya, anakku tetap harus berangkat les sore ini.
Mendengar janjiku, tampaknya ia tergoda. “Bener ya maa, janji untuk nanti naik sepeda keliling kompleks…” ucapnya untuk menekanku dengan mengulang janji yang kukatakan.
Senyumku mengembang, “Yessss!! Berhasil!” Kukedipkan sebelah mata sambil kuulurkan jari kelingking. Meminta tautan dengan jari kelingkingnya, sebagai tanda bahwa ada janji antara kami berdua.
Bergegas kami berangkat, dan ternyata Kak Nita sudah menunggu dengan senyumnya yang menyejukkan.
“Hai Nara, sore…sudah ditunggu Kak Puspa ya di dalam. Yukkk kita masuk yukk…Mami biar aja menunggu di sini ya…Nara banyak temannya kok di dalam. ” Ucap Kak Nita ramah.
Sudah lebih dari tiga bulan sejak kelas lego ini dimulai. Selama itu pula, aku selalu berkata, “Nara..keep fighting! I know you can do everything that you want to be…” Selalu kubisikkan kata-kata itu di telinganya. Aku ingin anakku belajar, bahwa dia adalah leader bagi dirinya sendiri. “Percayalah pada diri sendiri, Nara…Kau bisa terbang lebih tinggi dari yang dirimu sendiri bayangkan,” batinku, sambil menunjukkan jempol ibu jari padanya. Wajahnya memandangku dengan senyum kecilnya.
Kukeluarkan ponsel dari saku. “Saatnya me time sebentar, cek whatsapp dulu deh, banyak banget pesan yang masuk…” Sambil kusandarkan kepala ke sofa tempatku menunggu. Tiba-tiba, tanpa sengaja mataku tertuju pada pengumuman yang ditempel di papan sterofoam warna hijau. “Ikuti! Lego Competition, batch 1. Tanggal 12 Oktober 2017”. Kuhampiri papan tempel pengumuman itu, “Mbak Nita…ini apa ya? Lomba? Anak-anak sini akan diikutkan lomba juga kah?” tanyaku penasaran.
“Oh iyaa, Mami…kami baru pasang pengumumannya pagi ini. Jadi nanti, kami akan mengadakan kompetisi lego. Dibuka untuk umum Mam…Anak-anak di sini juga boleh ikut. Akan dibuat kelas latihan juga nanti. Untuk seusia Nara nanti lombanya boleh didampingi oleh maminya. Jadi yang dinilai adalah speednya. Bagaimana si anak mampu menyelesaikan tantangan building challenge yang diberikan oleh kami dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.” Jelas Kak Nita, menerangkan isi dari pengumuman itu.
“Oke Mbak, lalu Nara bagaimana ya? Apakah bisa daftar dan ikut kelas latihan?” tanyaku yang mulai bersemangat untuk mengajak anakku mengikuti lomba itu.
“Bisa Mam, sebentar bisa saya daftar sekarang…” ucap Kak Nita sambil mencari formulir pendaftaran di lacinya.
“Ohh..wait Mbak Nita, tunggu dulu…Nanti saya tanya Nara dulu ya, yang mau lomba kan Nara. Mau atau tidak nanti dia saja yang putuskan.” Cegahku dengan cepat sebelum ia menggoreskan pena.
“Ohh…iya betul. Baiklah, Mam…” ucapnya sambil tertawa malu.
***
Satu jam berlalu tanpa terasa, beberapa chat penting sudah kubalas. Sekarang tinggal menunggu anakku untuk keluar dari ruangan.
“Mamaaaaa…Nara udah selesai…” teriaknya riang begitu keluar dari ruangan di ujung sana.
“Hai, Sayang…Sudah selesai ya…? Gimana, menyenangkan build lego-nya?” tanyaku saat dia memelukku.
“Iyaaa…keren bangeettt tadi maa…Nara bisa bikin apartemen. Apartemennya ada kolam renangnya, dan ada pohon-pohonnya juga, lho!” ceritanya dengan sangat bersemangat.
“Waaahhh gooodddd jooobbb! Ehhh…Nara mau ikut lomba bangun rumah atau gedung lagi gak? Sama seperti yang Nara lakukan hari ini, tetapi harus lebih cepat karena ada waktunya. Gimana, mau gak?” bujukku, agar dia mau ikut dalam kompetisi itu bulan depan.
Ia pun menoleh ke arah Kak Nita. Matanya menyorotkan tanda tanya. Kak Nita tersenyum manis sambil mengangguk. “Iyaa..Nara ikut yaa..banyak temannya mau ikut juga lho!” ajaknya.
Nara memalingkan wajahnya dan menatapku. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia ingin ambil bagian di situ. Akupun mengangguk setuju, sambil kupegang kedua bahunya.
“Mau…?” tanyaku.
“Iya maa, mau…” jawabnya.
“Baik Kak Nita, mohon bantuan untuk didaftarkan ya…” pintaku, merespon jawaban Nara.
“Baik mam, langsung saya daftar sekarang..” jawabnya tak kalah bersemangat.
***
Seminggu, dua minggu, kami latihan guna mempersiapkan diri dalam perlombaan. Nara mulai menemukan pola yang dia rasa nyaman. Dalam lomba ini, orang tua hanya berperan sebagai pihak pengarah saja. Tidak diperbolehkan untuk memegang legonya, apalagi memasangkan. Tentu sanksinya adalah didiskualifikasi dari lomba.
Waktu perlombaan yang ditunggu akhirnya tiba. Bertempat di lantai dasar sebuah mall terbesar di kota kami, suasana riuh sekali, mulai tahap pendaftaran hingga tahap pengambilan souvenir kotak pensil kecil. Satu jam menunggu, akhirnya lomba dimulai. Kami pun sudah bersiap di tempat yang ditentukan, dengan nomor peserta 10. Itu artinya giliran kami segera tiba. Begitu peluit ditiupkan sebagai tanda dimulainya waktu perhitungan, aku dan Nara sudah sibuk dengan konsep dan strategi lego kami saat latihan.
“Ayo, Nara..yaa betul..itu ambil yang yellow square. Good! Next yang green..Yess! Go! Go! Go! Nara.” Begitu aku selalu menjadi yang terdepan dalam menyemangatinya.
“Ehhh..jangan yang itu dulu..Belum, belum..yang biru dulu pasangnya. Nahh yakk, betul. Cepettt, pasang langsung di atas. Awas pegangin yang sebelah kiri, nanti ambruk!” seruku sangat bersemangat. Menang, kami bertekad menang. Agar kerja keras ini semua terbayarkan.
Dalam sekejap saja, tampaknya Nara sudah tangkas menyusun balok-balok lego itu sesuai dengan gambar petunjuk. Wooww! Luar biasa! Tanpa aku banyak memberikan arahan, Nara sudah mampu menyelesaikannya. “DONE!“ Begitu kami diminta berteriak sebagai tanda selesai.
“Yeaayyy!! Good job, Nara!” seruku sambil mengajaknya ber-high five dengan semangat. Nara tersenyum puas sambil sesekali melirik ke arah legonya yang sudah tersusun membentuk rumah. Kulayangkan pandanganku pada ayahnya yang sejak tadi bertugas mengambil video dokumentasi.
“Nara…anak papa, kamu hebat nak! Papa bangga sama kamu…” sambut ayahnya yang datang untuk memeluknya.
“Paaaa…Nara bisaaa, paaaa…Gak dibantu mama lho tadi, paa…” ucap anakku berapi-api.
“Oh yaa, good Nak…i’m proud of you, Champ..” Begitu Ayah sering memanggilnya.
Nara tersenyum bangga dan bahagia atas pencapaiannya hari itu.
“Untuk pengumuman juara, akan diumumkan pada pukul 14.00 siang ini. Mohon bapak dan ibu, juga adik-adik sekalian untuk menunggu di sekitar area lomba ya…” seru panitia dari atas panggung.
“Ya sudah, mari kita makan siang dulu yaa…nanti kita balik kesini lagi sebelum jam dua.” ajak ayahnya.
***
Waktu pengumuman pun tiba. Kami bertiga sudah siap menunggu pengumuman juara. Feeling berkata rasanya akan mendapatkan salah satu dari piala di meja. Kulihat ayahnya sudah menatap ke arah panggung dengan harap-harap cemas, siapa yang akan membawa pulang piala-piala itu. Anakku pun sudah bersemangat sekali, mungkin batinnya, “Akan kubawa pulang piala paling besar itu.”
Akhirnya panitia mulai membacakan daftar para pemenang.
“Ya, bapak, ibu, dan adik-adik, mari kita sambut para juara dari Lego Competition hari ini. Bagi yang saya panggil namanya, dimohon untuk maju ke depan sambil membawa kertas nomor pesertanya, yaa..” seru kakak panitia dari atas panggung menghentikan keriuhan dari counter penjualan lego di ujung.
“Oke langsung saja yaa, juara ketiga…diraih oleh…Putri Zaskia Idris, dengan catatan waktu 3 menit 18 detik. Silakan maju ke depan.” Kulirik anakku sekilas, ekspresinya sedikit berubah. Aku pun mulai tidak tenang.
“Selanjutnya, juara kedua diraih oleh Bryan Zapelin Woyle dengan catatan waktu 3 menit lebih 2 detik. Silakan maju ke panggung ya, Bryan…” seru panitia dengan lantang. Mulai kulirik ayahnya. Pandangan kami bertemu, mengisyaratkan hal yang sama. Khawatir pada perasaan anaknya jika tidak berhasil membawa pulang salah satu piala.
“Dan….akhirnya, juara pertama, yang paling ditunggu-tunggu nih,” kupandang wajahnya yang sudah mulai pupus harapan. “Mama…Nara mau piala itu, Maa…” bisiknya kepadaku. Aku tak sanggup berkata lebih, selain “Iya, Nak…sabar dulu ya…” padahal hatiku pun berkecamuk berbagai perasaan. Sebenarnya aku tak mampu menanggung rasa, jika ternyata anakku bukanlah pemenangnya. Tapi aku harus terlihat kuat, untuk membantunya menjadi kuat menghadapi kenyataan, yang kadang berjalan tak sesuai dengan harapan.
“……Prabu Digta Utama, yeaaaayyyy!!! dengan catatan waktu paling cepat, 2 menit 37 detik. Silakan maju Digta, kamu hebat!!” seru pembaca pengumuman sangat lantang hingga suaranya terdengar sampai ke luar ruangan.
Seketika pecahlah tangis anakku. Ia kalungkan tangannya ke leherku, lalu memelukku dengan sangat erat. Erat pelukannya pasti sedalam perasaan kecewanya. Sungguh, sejujurnya aku pun tak kuat untuk berpura-pura menjadi kuat. Tak bisa juga aku menutupi rasa sedih hatiku. Bukan, bukan aku sedih karena kecewa pada anakku, tapi aku sedih melihatnya begitu kecewa pada dirinya sendiri, yang serasa tidak mampu. Aku sungguh ingin memberikan piala itu sebagai hadiahnya, tapi itu tak mungkin. Piala itu bukan milik kami.
Kupandang wajah suamiku, matanya berkaca-kaca. Tapi ia juga berusaha untuk menahan tangisnya. Aku tahu, pasti hatinya pun teriris, lukanya pasti perih. Baru kini aku menyadari, ada jenis luka yang lebih sakit daripada ditinggal kekasih. Kelak kau pun akan menyadarinya, anakku…
***
“……..and the champion is from Indonesia Team, Garuda! Congratulation…! Welcome Habib, Tony, Nara, and Sigit. Please go upstage for accept your thropy and a few simple celebrations.” Teriak panitia First Lego League International Lego Championship 2030 – World Class yang diselenggarakan di Rhode Island, United States.
“Huaaaaa….Yeaaaayyyyy!!! Naraaa, kamu kereeennnnn!!” Spontan aku dan ayahnya langsung berdiri, berteriak keras, dan mengibarkan bendera Indonesia kami tinggi-tinggi.
Tiga belas tahun berlalu sejak rasa sakit itu…Kini kami ikut berada di sini. Tetap di barisan terdepan sebagai pendukungmu. Dulu, boleh saja dirimu merasa gagal total. Tak mampu untuk mempercayai diri sendiri lagi. Perjuangan seolah sia-sia, tanpa makna. Tapi lihatlah setelah belasan tahun ke depan, apa yang terjadi?
Kami melihatmu berdiri bangga di sana. Berjuang atas nama bangsa, mengibarkan bendera Indonesia di ajang kompetisi Internasional kelas dunia. Orang tua mana yang tak bangga, melihat anaknya berdiri mengangkat thropy kemenangannya?
Ternyata, kenyataan pahit itulah yang justru membuatmu berada disini. Ternyata, rasa sakit tidak sepenuhnya membunuh jiwa, tapi justru mampu menyembuhkannya. Saat engkau temukan dimana titik baliknya, maka bisa kau bakar habis rasa sakitmu, tanpa sisa. Mungkin saja sekarang kita kalah, tapi masa depan harus tetap diperjuangkan tanpa lelah.
Kami, ayah dan ibumu…adalah pihak pertama yang paling kuat mendukung perjuanganmu. Jangan sangka kami tak takut, jangan sangka kami selalu yakin. Sering sekali kami berdebat, juga bertengkar dengan nurani sendiri. Seperti yang kulakukan dulu, di sore itu…
Kadang, orang tua memang harus sedikit memaksa di awalnya. Bukan tanpa pertimbangan dia memilihkan sesuatu untukmu. Justru di usia belia inilah, peran orang tua sangat ditunggu. Jika nanti telah dewasa, pilihlah mana yang kau suka dan tidak suka. Akan datang waktu, dimana engkau sendiri yang akan tentukan jalanmu. Tapi sekarang, jalani dulu prosesnya, belajarlah dari pengalaman yang engkau terima. Siapa tahu, ternyata engkau mahir disana. Ada bakat terpendam yang baru kau temukan setelah mencobanya. Tentu saja, tak akan ada hari ini, tanpa hari itu…
Selama ini, kami berjuang mengalahkan diri sendiri, demi kamu. Kami hanya berusaha selalu (terlihat) kuat dimatamu, anakku…Hingga suatu hari, engkau temukan sendiri kekuatanmu…