Sebagai ibu rumah tangga, di mana frekuensi ke pasar lebih sering dibandingkan ke mall, maka saya tahu betul bahwa harga bawang putih kini sudah sama dengan harga ayam. Bukan hanya masalah harga, ketersediaan barangnya pun semakin langka. Selama kira-kira hampir sebulan, harganya terus saja merangkak naik meninggalkan komoditas lain. Ada apa gerangan?
Saya mencoba melakukan riset sederhana untuk membuat praduga atas alasan kenaikannya. Kira-kira ada dua hal besar yang menjadi dugaan saya, yaitu :
1. Impor yang belum tereksekusi dengan baik
Sejujurnya saya sedih untuk mengatakan, “Impor belum tereksekusi dengan baik.” Negara dengan wilayah pertanian sangat luas ini justru masih menggantungkan 95% kebutuhan dalam negeri komoditas bawang putih dari impor. Negara importirnya terbesarnya adalah Cina dan Tiongkok.
Sesuai dengan riset data yang saya dapatkan, kebutuhan bawang putih Indonesia rata-rata berada di angka 500 ribu ton/ tahun. Namun berapa jumlah produksinya? Jika dibandingkan dengan tahun 2017, realisasinya hanya bisa di angka 70 ribu ton. Untuk tahun 2018, diproyeksikan bisa mencapai angka 100 ribu ton. Lalu berapa kebutuhan impornya? Tentu secara hitungan kasar, Indonesia masih membutuhkan sekitar 400 ribu ton. Luar biasa!
Pada awal Maret 2018 lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) telah menerbitkan Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) untuk mengimpor sebanyak 400 ribu ton dari Cina kepada 37 perusahaan importir. Realisasi volume impor yang akan diberikan, seluruhnya tergantung pada ijin yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Selanjutnya baru-baru saja, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan ijin untuk mengimpor 196 ribu ton bawang putih melalui Surat Persetujuan Impor (SPI) kepada 13 importir.
Meskipun sudah diterbitkan SPI, kelangkaan barang masih mungkin terjadi. Hal ini disebabkan realisasi impor yang dirasa kurang optimal. Terkesan terlambat, sehingga belum banyak bawang putih yang tiba di Indonesia. Jumlah importir saat ini juga hanya 13 perusahaan. Ada dugaan bahwa sedikitnya jumlah importir ini karena kebijakan dari Menteri Pertanian, yang dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH). Dalam aturan tersebut, mewajibkan importir untuk menghasilkan 5% bawang putih dari alokasi impor. Artinya, ada kewajiban bagi importir untuk ‘menanam’ bawang putih di lahan sendiri.
Simulasinya seperti ini. Jika seorang importir ingin mengeksekusi hak impornya, maka untuk menghasilkan 1.000 ton bawang putih dalam setahun, ia harus memproduksi 50 ton bawang putih dari kebun ‘sendiri’. Jika setiap hektar diperkirakan bisa menghasilkan 6 ton bawang putih, maka dibutuhkan lahan kurang lebih 8,33 hektar untuk menghasilkan 50 ton. Artinya, dibutuhkan biaya 416-500 juta per 50 ton bawang putih. Hal ini sebenarnya masih bisa disanggupi oleh importir. Hanya merasa berat, karena dianggap minim bantuan dari pemerintah, misalnya untuk bibit.
Lalu, apakah Indonesia tidak bisa swadaya bawang putih seperti halnya pada bawang merah? Ternyata, Indonesia pernah mampu memenuhi 80% kebutuhan dalam negeri sampai tahun 1998. Setelah itu, Indonesia bergabung dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO). Saat itulah, bawang putih asal negara lain khususnya Cina, menyerbu pasar Indonesia dan mematikan usaha bawang putih lokal karena harganya jatuh. Bawang putih lokal ukurannya kecil-kecil, berbeda dengan bawang putih impor yang besar-besar.
Dilihat dari teknik penanaman dan kondisi lahan yang ada di Indonesia, menanam bawang putih memang lebih sulit dibandingkan bawang merah. Bawang putih lebih memerlukan kondisi yang spesifik seperti kondisi lahan dan suhu tertentu. Itulah mengapa, semakin banyak petani yang malas melakukan penanaman bawang putih. Apalagi tanpa adanya bantuan teknologi untuk bisa melakukan penamanan secara massive.
2. Efek tidak langsung dari kenaikan harga minyak dunia
Pada pertengahan Februari 2018, harga minyak dunia menyentuh level hingga mencapai USD 65,73 per barel untuk harga minyak mentah Brent. Pemulihan pasar ekuitas global dan ketegangan di Timur Tengah angkat harga minyak, di tengah kekhawatiran kenaikan produksi di AS. Pada awal pekan ini, harga minyak mentah Brent dibuka naik di atas USD 70 per barel untuk pertama kalinya sejak Januari 2018. Lantas apa efeknya bagi Indonesia?
Ada dua hal utama yang menjadi pembentuk harga jual BBM, yaitu harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Jadi, jika dalam waktu yang bersamaan harga minyak mentah dunia naik, dan rupiah melemah, maka harga jual BBM akan melonjak. Atau, jika harga minyak dunia turun, tetapi nilai tukar rupiah melemah, maka harga jual BBM pun sulit untuk turun. Selama ini, Pemerintah meninjau harga jual BBM setiap tiga bulan.
Kondisi saat ini, harga minyak dunia memang sedang tinggi. Bagaimana dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar? Akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah melemah di level Rp 13.800 per USD. Namun, pekan ini sudah menguat ke level Rp 13.600 per USD. Melihat kisarannya, nilai tukar rupiah terhadap dolar itu masih relatif lemah. Kondisi itulah yang akhirnya membuat Pemerintah menaikkan harga Pertalite kembali per 24 Maret 2018. Alhasil, kenaikan pada Maret 2018 ini merupakan kenaikan yang kedua sejak Januari 2018.
Seperti diketahui bahwa sejak 2015, Pemerintahan Presiden Jokowi sudah mengurangi dan mencabut subsidi BBM besar-besaran untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Karena itulah, kenaikan harga minyak mentah dunia dan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar mempengaruhi harga BBM non-subsidi.
Pemerintah mengklaim bahwa kenaikan harga BBM tersebut tidak akan terlalu mempengaruhi masyarakat. Hal ini dilihat dari tingkat inflasi bulanan di Februari 2018 sebesar 0,17% yang didominasi oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Sementara dari kontribusi kelompok bahan bakar, hanya 0,22%. Prediksi inflasi di Maret hanya akan meningkat sekitar 0,2% dan di April akan meningkat lagi di kisaran 0,3% membuat Pemerintah merasa bahwa dampak kenaikan BBM tersebut tidak signifikan.
Namun, apakah benar demikian?
Sejak subsidi yang dikurangi besar-besaran oleh Pemerintah, maka golongan Non-subsidi juga akan merasakan pengaruhnya jika terjadi perubahan pada harga pasar dunia. Tiga kelompok bahan bakar yang dikurangi subsidinya oleh Pemerintah meliputi, BBM, Gas (LPG), dan Listrik. Maka, jika terjadi kenaikan harga BBM Non-subsidi serta listrik, maka otomatis akan berimbas pada industri. Biaya produksi akan meningkat, karena akan mempengaruhi biaya pendistribusian barang hingga ke tangan konsumen. Naiknya biaya produksi tersebut, akan membentuk kenaikan harga hingga di tangan konsumen. Hampir seluruh harga bahan pokok mengalami kenaikan, termasuk bawang putih. Akibatnya, seluruh masyarakat baik di kelas penerima subsidi BBM maupun Non-subsidi, secara tidak langsung akan merasakan dampaknya.
Dua hal tersebut yang (mungkin) bisa saya simpulkan dari penyebab melambungnya harga bawang putih beberapa waktu terakhir ini. Jika bahan makanan pokok lain tidak terlalu tinggi naiknya, hal itu disebabkan karena ketersediaan pasokan di dalam negeri. Berbeda dengan bawang putih yang menggantungkan hampir semua kebutuhan dari impor. Itu membuat ketika terjadi kekurangan pasokan di dalam negeri, Indonesia harus buru-buru membuka keran impor.
Dengan harga produksi yang juga sedang tinggi, ditambah kekosongan stok di dalam negeri, membuat masyarakat Indonesia terpaksa harus menelan ludah. Mau tidak mau harus menerima. Tak ada yang bisa dilakukan. Lari pun ibarat dikepung macan. Bertahan dengan segala cara. Masyarakat Indonesia tidak mungkin makan tanpa bawang, kan?
Lalu, kapan Indonesia bisa seperti Thailand dalam hal pertanian? Hmm … masih jauh tampaknya perjalanan kita.
Sumber Referensi :
- https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/03/01/1441/februari-2018-inflasi-sebesar-0-17-persen–inflasi-tertinggi-terjadi-di-jayapura-sebesar-1-05-persen-.html
- http://ekbis.rmol.co/read/2018/03/27/332604/Gila,-Harga-Bawang-Putih-Nyaris-Tembus-Rp-50.000-Per-Kg-
- http://industri.bisnis.com/read/20180322/99/753112/bawang-putih-realisasi-impor-belum-optimal-harga-tinggi
- https://www.merdeka.com/uang/kenaikan-harga-bawang-putih-dicemaskan-picu-kelangkaan.html
- http://www.liputan6.com/bisnis/read/3411055/harga-minyak-dunia-naik-bertahan-di-atas-usd-70-per-barel
- https://www.medcom.id/ekonomi/globals/xkEn777K-kenaikan-persediaan-as-buat-harga-minyak-dunia-jatuh
- https://tirto.id/alasan-pertamina-naikkan-harga-pertalite-rp200-per-liter-cGH7
- https://economy.okezone.com/read/2018/03/22/320/1876263/harga-minyak-dunia-naik-ke-level-tertinggi
- https://tirto.id/cara-pemerintah-dan-pertamina-menetapkan-harga-bbm-cvzz
- http://www.liputan6.com/bisnis/read/625211/bagaimana-cara-pertamina-hitung-harga-jual-bbm
- https://katadata.co.id/berita/2018/03/06/kementan-terbitkan-rekomendasi-impor-400-ribu-ton-bawang-putih
- https://katadata.co.id/berita/2018/03/07/kemendag-keluarkan-izin-impor-200-ribu-ton-bawang-putih
- https://katadata.co.id/berita/2018/03/23/harga-tinggi-di-pasar-mendag-akan-panggil-importir-bawang-putih
- http://jateng.tribunnews.com/2018/03/02/ada-apa-ini-nilai-tukar-rupiah-sentuh-rp-13775-per-dollar-as
informatif sekali kak tulisannya. sumber-sumbernya juga sangat jelas. terima kasih.
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, Kak. 😘🙏🏻
LikeLiked by 1 person