[ Ulasan buku “Menyongsong Badai”, novela karya Margarita Garcia Robayo ]
“Mulanya kamu berharap segala yang kamu tunggu akan datang suatu hari dalam sebuah kapal, dan saat menyadari tidak akan ada yang datang, kamu mengerti kamu harus pergi mencarinya.”
Jika ingin melarikan diri sangat jauh, ke mana menuju? Kerap kali seseorang merasa ingin menghilang, lalu merasakan hidup dalam suasana berbeda. Seolah itu hal paling bahagia yang ingin ia jalani selamanya.
Membaca novel dengan tema kegalauan menghadapi ‘badai’, khususnya di usia perempat abad (quarterly life crisis) sedikit membuat saya juga mengingat kembali kegelisahan itu. Di masa itu, saya serba khawatir. Pada semua hal.
Mungkin itu juga yang dirasakan narator sekaligus tokoh utama dalam Menyongsong Badai karya Margarita Garcia Robayo, penulis muda Kolombia. Novela pertama dari bagian buku El sonido de las olas, berjudul asli Hasta que pase un huracan (Waiting for Hurricane). Mengambil latar kehidupan kampung kumuh, miskin, kotor, sering kebanjiran, dan dipimpin pemerintah korup, seolah pasti melenyapkan harapan akan kegemilangan masa depan. Ia menyampaikan kegelisahan sekaligus kesinisannya atas nasib para penghuni sebuah kampung di tepi laguna Ciénaga de la Virgen, Cartagena, yang berhubungan dengan laut Karibia, pesisir bagian utara Kolombia, dengan pendeskripsian lugas.
Dibuka dengan kalimat, “Hidup di tepi laut bisa dibilang mujur sekaligus sial untuk alasan yang persis sama : dunia berujung di cakrawala, atau dengan kata lain dunia tidak berujung.” Dilanjutkan dengan, “Dan kamu selalu berharap lebih.” Diakhiri dengan kalimat lembut yang sedikit menyentil, “Mulanya kamu berharap segala yang kamu tunggu akan datang suatu hari dalam sebuah kapal, dan saat menyadari tidak akan ada yang datang, kamu mengerti kamu harus pergi mencarinya.” Kalimat terakhir ini yang sepertinya menjadi inti alur cerita.
Setelah menjelaskan situasi latar keluarganya yang ‘tidak berguna’, ia merasa perlu mengubah jalan hidup. Harus menjadi seseorang yang berbeda. Tinggal di kota besar, Miami atau New York. Ia juga berusaha melatih diri menguasai bahasa Inggris, untuk mengantar pada fase hidup berbeda yang akan dijelaskan dalam cerita.
Sebagai seorang perempuan yang lahir dari banyak situasi ‘tidak menguntungkan’, tak banyak pilihan bisa diambil. Butuh keberanian (lebih tepatnya kenekadan) untuk mengubah alur yang sepertinya telah pasti digariskan. Gambaran masyarakat yang seperti pada umumnya, dirutinkan dengan aktivitas bersekolah sejak kecil, bekerja, menikah, terpola teratur agar dilimpahi nasib baik. Tapi tokoh utama justru sering berusaha membolos dari sekolah, untuk berjalan-jalan di pusat kota, atau mengunjungi seorang kenalan ayahnya, Gustavo, seorang nelayan, juga Willy, seorang penjual bir. Latarnya, Ciénaga de la Virgen sendiri memiliki masalah lingkungan. “…Akibat sampah yang menumpuk, air meluap dan menenggelamkan rumah-rumah yang sudah lapuk ke dalam lumpur.” (hlm. 13), sehingga bisa digambarkan bagaimana keterbatasan penduduknya pada akses fasilitas.
Dikisahkan selanjutnya, sang tokoh beranjak dewasa, mendaftar kuliah jurusan hukum, dan memiliki kekasih. Dalam mimpinya yang jauh, ia ingin menjadi orang kaya. Tapi kenyataan, hanya berakhir dalam ‘rutinitas’ bercinta bersama Toni, pacarnya. Atas saran saudara, pada akhirnya ia mendaftar sebagai pramugari. Meski tahu mendapatkan penolakan dan gambaran yang buruk tentang pramugari, ia tak peduli. Satu tujuannya : bisa pergi.
Menjadi pramugari, ia jadi bisa sering mengunjungi tempat yang jauh dari kampungnya, Miami, Seattle, dan Los Angeles. Selama bekerja, terlibat dengan percintaan singkat orang-orang yang ia temui, termasuk kapten pesawat. Juga sempat iri dengan saudara yang ‘berhasil’ menikahi perempuan kaya, dan tinggal di Los Angeles.
Beberapa kali kembali ke kampung halaman, suasana hanya sedikit berbeda, dan nasib orang-orang di sana juga tidak banyak berubah. Ia masih mengunjungi orang-orang yang sama, berbincang hal yang sama, di tempat yang sama. Di sisi lain, ia pun dihadapkan pada rasa kehilangan atas kematian, juga mantan kekasih yang telah menikah dan memiliki anak. Pada akhirnya, ada sebuah kesadaran kecil terpercik dalam batin : bahwa sesungguhnya ia tak pernah pergi dari kampung yang dibencinya, seberapa pun jauhnya berlari — bahkan terbang.
Kisah singkat yang menarik tentang kekhawatiran seseorang di masa muda. Dalam kecemasan itu ia mempertanyakan dan berusaha mengubah semuanya. Pada akhirnya, ketika kembali ke tempat semula, ia masih mempertanyakan apa yang sesungguhnya ia kejar. Apakah kehidupannya yang sekarang telah lebih baik dari yang lain, apa ia lebih bahagia, dan apakah ia benar-benar telah mencapai tujuannya?
Ini adalah sebuah kisah singkat, tak cukup lama untuk menuntaskan. Tak ada adegan yang tampil dominan atau menumpu pada sesuatu sehingga membuat kesan panjang. Jika dalam film mungkin akan sedikit membosankan. Tetapi, sebagai sebuah cerita utuh, kegelisahan atas nasib masa depan yang dialami tokoh utama, juga pada banyak orang di dunia, kisah ini merupakan sebuah keterwakilan atas diri mereka.
Saya juga tidak langsung bisa merasakan suasana kegalauan batinnya, sehingga perlu melakukan pembacaan ulang. Entah adakah pengaruh dari terjemahannya–yang sebenarnya sudah cukup bagus, tapi sepertinya bisa dibuat lebih luwes lagi, atau juga dalam penyesuaian gaya menulis Robayo yang tidak memisahkan antara narasi dengan dialog. Sehingga pembaca perlu lebih terbiasa untuk memindai kalimat dialog, siapa yang sedang bercakap, memisahkan dari narasinya.
Mantap. Untuk paragraf terakhir, apa boleh ya melangkahi penulis seperti itu?
LikeLike