Pernahkah Anda membayangkan, sebuah resep makanan yang sangat enak dan otentik justru lahir dari tangan seorang mantan penderita penyakit lepra? Gambaran keadaan inilah yang sepertinya coba disampaikan Durian Sukegawa dalam “Pasta Kacang Merah”.
Nuansa lembut langsung bisa dibayangkan ketika pembaca melihat sampul merah muda.

Bercerita tentang wanita tua, Tokue, yang sangat ingin bekerja sebagai pembuat pasta kacang merah di kedai Dora Haru, yang dikendalikan Sentaro, meski dibayar murah. Pikiran praktis Sentaro saat itu, tidak ada salahnya menerima Tokue sebagai karyawan. Penjualan naik, keuntungan meningkat, upah murah. Awalnya Sentaro keberatan, tapi berubah pikiran setelah Tokue memberi contoh pasta kacang merah buatannya untuk dicoba. Tokue kemudian dengan sangat teliti mengolah kacang merah mulai dari bentuk biji kacang merah hingga menjadi pasta untuk pengisi dorayaki. Ternyata rasanya memang konsisten sangat enak. Ia bahkan mengajari Sentaro teknik membuat pasta yang telah ia tekuni selama 50 tahun.
Namun, ada syarat yang Sentaro berikan pada Tokue sebelum bekerja di kedai Dora Haru. Yaitu, Tokue tidak boleh ikut melayani pelanggan. Tokue hanya boleh berada di belakang (dapur), mengurusi produksi pasta kacang merah. Ini karena ada kekurangan fisik pada Tokue : jarinya bengkok. Awalnya Sentaro tidak tahu bahwa itu karena lepra, hanya tahu jari Tokue menjadi bengkok karena penyakit turunan yang menyerang Tokue ketika muda, tapi sudah lama sembuh. Belakangan baru ia paham bahwa jari yang bengkok itu disebabkan lepra di masa lalu.
Lepra adalah penyakit menular yang membuat penderitanya bahkan harus diisolasi. Di Jepang, sejarah penyakit lepra dan penanganannya cukup panjang hingga pada tahun 2009, sebanyak 2600 mantan pasien lepra menghuni di 13 sanatorium nasional dan 2 rumah sakit swasta di Jepang. Usia rata-rata mereka saat itu 80 tahun, berarti penduduk kelahiran sekitar tahun 1920-an, ketika Jepang dalam Era Taisho.
Suatu hari, Sentaro tidak masuk karena sakit. Akibatnya, Tokue bekerja sendirian. Karena itu, ia membuka toko, memasak, hingga melayani pelanggan secara langsung. Inilah momentum yang membuat para pelanggan menyadari jari Tokue yang bengkok. Sentaro marah ketika tahu, tapi sudah terlanjur. Dampaknya, Sentaro didatangi oleh nyonya pemilik toko dan meminta Sentaro memecat Tokue karena alasan fisiknya. Sentaro agak keberatan, terlebih karena memang kualitas pasta kacang merah Tokue sangat bagus. Ia yakin perlahan akan mempengaruhi penjualan sehingga bisa mendatangkan keuntungan lebih besar. Ini juga artinya membuat Sentaro bisa membayar utangnya pada pemilik toko lebih banyak dan melunasinya lebih cepat.
Sentaro mulai bimbang, tak tega karena semakin dekat dengan Tokue. Tapi, juga semakin didesak pemilik toko. Menurut nyonya pemilik toko, berbisnis artinya harus mengikuti keinginan pelanggan, apalagi ini bisnis makanan. Bagaimana mungkin bisnis makanan yang harus sangat mempertimbangkan kebersihan, kehigienisan, malah menghasilkan produk yang dibuat oleh penderita penyakit menular. Ini tentu akan merusak selera makan pelanggan. Sentaro bahkan diminta untuk mengganti model bisnisnya, dari menjual dorayaki menjadi okonomiyaki, takoyaki ala Osaka, dan miras.
Pergolakan batin Sentaro tampaknya ditangkap Tokue. Dengan kesadaran, Tokue mengundurkan diri. Ia menyadari bahwa penyebab masalah Sentaro dengan pemilik toko hingga menjadi rumor beredar adalah dirinya. Tidak mau merusak lebih jauh, Tokue pergi.
Seperti sebagian karya Jepang lain, Durian juga mengangkat isu diskriminasi, penghakiman, dan stereotip yang menempel pada masyarakat. Dengan membalutnya dalam nuansa hangat, halus, dan lembut, sebenarnya Durian ingin meneriakkan hal penting : bagaimana stigma yang terbenam dalam pikiran masyarakat telah menghancurkan harapan hidup seseorang. Orang-orang yang terpaksa menjalani ‘hukuman’ bahkan ketika seharusnya sudah terbebas. Lebih mengerikan dari pada hukuman penjara fisik. Ternyata ada hal-hal yang selamanya mengikuti mereka, mengikat, memerangkap, hingga harapan untuk bisa bersikap normal saja harus digantungkan di langit.
Hal yang mungkin juga sama kita lihat saat ini pada penderita penyakit HIV/AIDS. Tetap sulit untuk memberikan pemahaman bahwa penyakit ini tidak menular hanya lewat sentuhan tangan, misal bersalaman.
Alur cerita berikutnya adalah seputar penjelasan Tokue terkait kondisinya mulai awal menderita penyakit ini. Di Jepang, penyakit ini disebut sebagai penyakit Hansen. Tokue yang sampai saat itu masih tinggal di sanatorium, mengatakan bahwa penyakit ini tidak menyebabkan kematian, meskipun gejala sisanya tampak parah. Banyak yang bisa sampai di umur tua seperti Tokue. Suami Tokue pun meninggal karena penyakit jantung, bukan Hansen (hlm. 131).
Kondisi Jepang waktu itu kalah perang, keadaan ekonomi politik sangat jauh dari stabil, hingga mempengaruhi sosial masyarakatnya. Kakak Tokue pulang dari Tiongkok, yang menjadikan Tokue kemungkinan tertular virus, lalu membuatnya harus diisolasi di tempat yang memisahkan diri dari keluarga. 14 tahun usia Tokue saat itu. Ia pun diminta mengganti namanya. Benar-benar menghilang dari dunia.
Tinggal di tempat isolasi karena penyakit, sama layaknya dengan penjara. Hanya ada 2 baju sebagai seragam yang selama dua tahun baru diganti yang baru, akan dimasukkan dalam sel hukuman jika melakukan kesalahan —yang bahkan keadaannya bisa berupa ruangan gelap tanpa cahaya, dan membuat penghuninya mati membeku di musim dingin (hlm. 141).
Perlakuan pada penderita penyakit Hansen seperti tidak ada beda dengan pelaku kejahatan (kriminal). Orang-orang yang dicurigai, termasuk gelandangan, akan dibawa truk polisi. Petugas kesehatan lalu datang dan menebarkan bubuk putih ke truk tersebut hingga terbatuk-batuk mengepulkan bubuk. Tokue tidak menyangka, kini dirinya menjadi bagian dari cerita itu.
Keadaan di sanatorium juga tak kalah menyedihkan. Orang-orang yang datang sudah dalam kondisi beragam gejala. Namanya tuberkel, ada yang berbentuk bintil, ada yang kerak. Ada yang jarinya buntung, ada yang hidungnya buntung. Sementara obat belum tersedia di Jepang, meskipun sudah ada (hlm. 142). Tekanan psikologis yang dialami para penderita dan penghuni sanatorium sangat luar biasa. Jika ada kejahatan atau kebakaran di sanatorium, petugas atau polisi tidak akan datang, sehingga sanatorium harus mandiri menyelesaikan masalahnya sendiri dengan membentuk kepengurusan lingkungan dan semua urusan, termasuk membuat uang sendiri yang bisa dipakai di lingkungan sanatorium (hlm. 145).
Semua orang menggabungkan kekuatan berdasarkan latar belakang dan pengalaman masing-masing ketika masih dalam lingkungan masyarakat normal. Ada banyak divisi, misal divisi kimono, divisi bercocok tanam, dan divisi pemadam kebakaran, termasuk divisi pembuat kudapan, di mana Tokue bergabung dan memberinya pengalaman membuat pasta kacang merah yang sangat enak (hlm 146).
Penolakan pada penyakit Hansen bukan hanya kepada yang sakit atau yang hidup, bahkan yang sudah meninggal pun juga. Tidak ada pusara yang dibuatkan untuk yang sudah meninggal. Semua abu diperistirahatkan di rumah abu, bagian dari sanatorium. Keluarga pasien juga harus meninggalkan kampung. Ketika tiba masa pasien sudah sembuh dan boleh keluar dari sanatorium, tidak semua anggota keluarga mau menerima kembali. Kehidupan di sanatorium mengijinkan pernikahan, tetapi aborsi dilakukan, sehingga pasien tidak memiliki anak.
Pembacaan sejarah tentang kondisi di Jepang pada masa itu lebih memilukan. Buku ini seolah menjadi pemantik untuk pembaca memahami bagaimana situasi di Jepang saat itu. Bahkan diskriminasi ini sempat didukung oleh salah satu aliran/sekte, Nichiren, yang menyatakan “yang tidak menghormati sekte mereka, akan terkena lepra pada tahap kehidupan selanjutnya”. Pada awal 1900-an, pemerintah Jepang mulai menaruh perhatian pada lepra karena banyak menemukan pasien dalam wajib militer. Menjadi kuat secara militer adalah perhatian terbesar saat itu. Diumumkanlah UU pencegahan lepra pertama dan memulai pembangunan 5 sanatorium umum. Pada 1930, orang ingin prefektur terbebas dari pasien lepra, sehingga memperburuk stigma lepra. Tahun 1945, banyak yang kekurangan makan di sanatorium, lalu meninggal karena TBC dan malaria. Sebagian adalah penderita lepra terburuk. Tahun 1953, UU Pencegahan Kusta yang dikatakan pemerintah untuk mencegah penyebaran penyakit, memberikan perawatan medis di rumah sakit, melarang diskriminasi pasien disahkan, tapi ditentang oleh Asosiasi Kusta Jepang karena dianggap merupakan kebijakan segregasi hingga melakukan mogok makan, termasuk karena menyertakan pasal tentang pasien tidak boleh meninggalkan rumah sakit kecuali urusan sangat mendesak, dan semua pasien mengabdikan diri untuk pengobatan dan menaati peraturan dengan ancaman kurungan 30 hari.
Asosiasi Kusta Jepang berpandangan metode pengendalian kusta/ lepra di Jepang sangat dipengaruhi oleh pendapat bahwa metode pengendalian lepra terbaik adalah dengan isolasi pasien. Hal itu didasarkan pada pandangan pemerintah bahwa kusta terjadi melalui kontak erat dalam keluarga, dan kusta tidak bisa disembuhkan seumur hidup. Didukung oleh kepercayaan sosial masa itu, di mana kusta adalah penyakit memalukan dan kemurnian bangsa harus dijaga sehingga membenarkan isolasi. Isolasi bahkan lebih dipentingkan dari usaha penyelamatan. Singkatnya UU Pencegahan Kusta 1953 akhirnya dihapuskan karena dianggap inkonstitusional pada 1996. Tahun 1998 banyak pasien menuntut ganti rugi pada pemerintah Jepang dan memenangkannya tahun 2001.
Kembali lagi pada tokoh Tokue. Akhir kisah dalam buku ini dibuat manis, ketika kemudian Sentaro memutuskan keluar dari toko Dora Haru, menenangkan diri beberapa saat, lalu pergi menemui Tokue. Ternyata Tokue sudah meninggal dan disemayamkan di rumah abu. Sebelum meninggal, Tokue membayangkan pohon-pohon sekitarnya berkata, “Kau sudah berjuang keras, Tokue! Kau berhasil.”